Bagaimana rasanya menjadi seorang pengamen jalanan?


Hitam Kelabunya si Pengamen Jalanan

Realita kehidupan sebagai seorang anak-anak tak selamanya indah dan menyenangkan. Apalagi untuk sebahagian anak-anak yang tidak dapat mengenyam indahnya bangku pendidikan. Bermain bersama teman, jajan di kantin dan jalan, hingga pulang pergi bersama kesekolah tak dapat dirasakan orang-orang perekonomian rendah kebawah. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja mungkin masih sulit.
Hal ini dapat dilihat dengan mudah. Silahkan pergi ke jalanan, lampu merah atau emperan toko. Banyak anak-anak yang harusnya disekolah malah harus mengamen mencari uang,  berkeliling tak tau arah sambil membawa wadah kecil plastik yang digunakan untuk menampung uang hasil pemberian orang-orang.
Seperti yang dirasakan oleh seorang pengamen cilik bernama Rojak. Usianya masih 12 tahun, tapi dia sudah harus merasakan bagaimana kerasnya mencari uang dijalanan yang penuh sesak dan panas. Hari itu, seperti biasanya Rojak memainkan gitar kecil dan buluknya diperempatan lampu merah dekat simpang Tabek Gadang Pekanbaru. Tak ada baju yang layak untuk melindungi tubuh kurusnya. Kulitnya menjadi hitam, rambutnya yang panjang tak terurus semakin membuat orang lain tak cukup enak untuk memandangnya.
Rojak kemudian perlahan berjalan ketengah saat lampu lalu lintas sudah menunjukan tanda merah. Ia petik gitar kecilnya perlahan dan mulai mengeluarkan suara.
orang bilang tanah kita tanah surga, kok korupsi dan kolusi membudayaa~
Orang bilang tanah kita reformasi tapi kok masih banyak tikus-tikus berdasi~” nyanyiannya menggunakan lagu Kolam Susu Koes Plus yang sudah diubah menjadi versi baru.
Sekilas lagu yang dinyanyikan Rojak ini merupakan bentuk kekecewaan dan sindiran terhadap pemerintah negeri ini. Disaat masih banyak warga miskin yang harus dibiayai dan disejahterakan, orang-orang tak bermoral yang disebut dengan ‘pejabat negara’  terus saja menguras kekayaan negara untuk memperkaya diri sendiri tanpa mau membagi.
Ironi bukan ? dinegara yang harusnya menjadi “Tanah Surga” malah tak menyejukan sama sekali bagi para penghuninya. Orang kaya semakin kaya, orang miskin semaki miskin. Seolah julukan indah yang ditancapkan untuk negara ini tak berguna.
Seusai menyanyi, tangan Rojak mulai mengetuk pintu jendela mobil untuk mendapatkan sedikti uang. Banyak yang memberi, namun tak sedikit pula yang mencaci. Hal tersebut sudah menjadi konsekuensi baginya sebagai seorang penduduk Pinggiran.
 kak seribu kak buat sarapan, belum makan” ucapnya dengan nada yang tak tinggi namun juga tak terlalu rendah saat menemui penulis yang sedang mengantri menunggu lampu merah. Untuk ukuran pengamen jalanan, suara Rojak termasuk kedalam kualitas lumayan. Tidak jelek banget dan tidak juga bagus banget.
Saat ditanya mengapa dia memilih mengamen daripada sekolah, Rojak menjawab “kalau sekolah ya nggak makan kak. Ayah juga nyuruhnya cari uang saja”. Jawaban yang keluar dari mulut Rojak cukup menampar para anak-anak kelas menengah atas yang masih kurang bersyukur atas apa yang dimilikinya. Saat mereka hanya tinggal makan dan sekolah tanpa harus memikirkan uang, Rojak harus rela kehilangan pendidikannya demi menyambung hidup.
Hitamnya kehidupan anak-anak pengamen jalanan menyadarkan kita bahwa ada sesuatu hal yang sebenarnya sederhana bagi kita namun berharga untuk orang lain. harus ada sesuatu yang disyukuri, agar kita tetap merasakan apa yang seharusnya kita rasakan bukan apa yang sebenarnya kita inginkan.

Komentar

Postingan Populer